Berdua kita
saling melengkapi dan sendiri kita bukan siapa-siapa. Aku masih ingat dengan
jelas kata-kata itu. Seperti baru terucap kemarin di telingaku, dan terngiang
jelas di dalamnya. Andai saja kau tahu, kata-kata itu tak hanya sekedar janji
bagiku. Seperti mantra, ucapanmu itu yang menguatkanku.
Aku
duduk bersandar di beranda. Tanganku memeluk erat buku gambarku. Seolah tak mau
lepas dan kehilangan. Cukuplah dirimu yang menghilang, tapi tidak dengan kenangan-kenangan
di antara kita. Aku tak rela.
Kehilangan
satu lebih baik daripada kehilangan semuanya. Setiap orang berkata seperti itu
kepada diriku. Mungkin memang benar menurut mereka. Setidaknya menurut mereka,
lebih baik masih ada yg tersisa daripada hilang sama sekali.
Aku
mendesah pelan. Kehilangan selalu tidak menyenangkan. Sedikit ataupun banyak,
tetap saja akan meninggalkan sebuah celah di ingatan. Ada sesuatu yang tak lagi
sama. Bersamamu aku kuat, walau tanpamu aku masih dapat bernafas dan beraktifitas.
Namun ada yang tak lagi sama. Tanpamu seperti ada yang berbeda denganku. Gerak
jemariku tak lagi liat menggoreskan kuas. Garis-garis yang kubentuk terlihat
enggan untuk menyatu dengan apa yang kuinginkan.
“Ya,
hallo,” ucapku mejawab panggilan telepon. “Ya, sebentar lagi aku akan bersiap,”
ucapku menutup pembicaraan. Segera aku berajak dari beranda dan bersiap diri.
Merapikan diri agar terlihat semenarik mungkin.
Sudah
lama aku tidak berias diri sesungguh ini. Hanya dulu saat bersamamu, dan kini
pun juga. Dihadapanmu, aku ingin terlihat dalam penampilan terbaikku.
“Raya...
sudah siap?” ucap Nura yang sudah berada di balik pintu. Tetangga kostanku ini
ternyata sudah siap pergi.
“Yap,
sudah,” kataku setelah selesai memakai lipgloss di bibirku. “Kita berangkat
sekarang?” tanyaku.
Nura
memandangi penampilanku dari atas ke bawah. Lalu senyum merekah di bibirnya. “Bagus,”
ucapnya memberikan penilaian.
Sesaat
sebelum pergi, kuambil buku gambarku. Kudekap erat benda itu dan ikut
membawanya ke acara yang akan kudatangi dengan Nura, sahabatku sejak kuliah
hingga kini kita sudah bekerja.
Suasana
pernikahan selalu meriah. Aura kebahagiaan menguar dan memenuhi udara di dalam
ruangan ini. Di depa pelaminan berdiri sepasang mempelai yang tentunya sangat
bahagia. Melihat mereka, aku ikut merasakan bahagia yang sama-entah bahagia
sebenarnya atau hanya bahagia bawaan saja.
“Kita
ke sana sekarang, Ya?” Nura bertanya kepadaku yang sedang asik melihat ke arah
pelaminan.
“Ya,”
jawabku tegas. Kugenggam erat buku gambar ditanganku. Ada getar tersembunyi
yang merambat di sana. Sebentar lagi,
ucapku membatin.
“Rega
selamat ya, semoga kalian bahagia.” Aku mengucapkan doa kepada sahabatku Rega
dan istrinya, Windri. Raut wajah mereka terlihat bahagia. Sepertinya Windri
memang perempuan yang cocok untuk Rega. Kuurungkan niatku untuk memberikan buku
gambarku kepada Rega.
“Hey,
kamu bawa apa?” tanya Rega saat melihat tanganku yang seperti mengrnbunyikan
sesuatu.
Kuperlihatkan
buku gambar itu kepadanya. “Buku gambar kesayanganku,” ucapku seraya tersenyum.
“Kamu
masih tetap menggambar dan melukis?” tanya Rega yang hanya kujawab dengan
anggukan kecil. “Itu masih buku sama dengan yang dulu kamu bawa kemanapun?”
Sekali
lagi, hanya anggukan kecil yang kuberikan.
“Buku
yang sejak dulu tak pernah mau kamu perlihatkan padaku?”
Ya, kamu benar, aku membatin. “Ya, dan
tetap tak akan kuperlihatkan padamu,” ucapku dengan sedikit candaan.
Rega
hanya tersenyum mendengarnya. Lalu aku dan Nura melanjutkan langkah sebab sudah
ada famu lain yang ingin bersalaman dengan kedua mempelai.
“Kamu
baik-baik saja, Raya?” tanya Nura sedikit khawatir saat melihat aku termenung
sendiri.
“Ya,
aku baik-baik saja. Berdua tidak selamanya genap, dan sendiri tidak selamanya
ganjil,” ucapku pada Nura yang kebingungan. Aku mendekap erat buku gambarku.
Buku di mana penuh dengan sketsa wajah Rega. Sebab kenangan hanya indah untuk
dikenang, bukan untuk diulangi. Aku teringat perkataan salah satu teman
kerjaku. Dan aku harus mengamini kata-kata itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar